Tour de’Imogiri (pemanasan)

Imogiri (09/05), untuk pertama kali setelah 4 tahun lebih tidak melibatkan diri dalam dunia sepeda, touring pertamaku dimulai. Noxtradamus adalah nama yang kupilih untuk sepeda baru itu. Hasil utak-atik kata dan searching maka dengan keputusan bulat nama ‘Nostradamus‘ dilekatkan pada sepeda itu. Hasil dari kombinasi yang cukup halus, walaupun sedikit dipaksakan untuk lidah Indonesia.

xtrada dari belakang

xtrada dari belakang

Diawali dari “Ayo mas, sesok Sabtu pit-pitan nang Pakem” oleh rekan Imam dari B2W jogja setelah Nomus (nama panggilan untuk Noxtradamus) berhasil masuk dalam genggamanku. “Ayo, siap!”, jawabku spontan. Indomielezat juga menjawab serupa denganku. Sehari setelahnya dengan media facebook aku kembali menanyakan touring pertama itu, “Mas gimana kalo trip-nya ke Slarong atau Imogiri”. “Manut, ke Imogiri lebih enak kayaknya”, sergahku dengan semangat (kaya nulis cerpen yah). Akhirnya disepakati untuk touring de’Imogiri tanggal 9 Mei 2009.

Bangun seperti biasa jam 4.30 pagi, mandi siap-siap bekal, lalu ritual ‘pesepeda’ setiap hari.

Sierra-nya indomielezat

Sierra-nya indomielezat

Memeriksa, dan ngelapi Nomus, dan Sierra milik Indomielezat. Cek tekanan ban semua sudah dilakukan, tinggal menunggu kedatangan Imam. Ting…ting…ting…suara bell sepeda memasuki halaman rumah, muncul Urbano folding bike yang dikendarai Imam.
Ngobrol sebentar, kemudian langsung goes ke rumah Om Rangga dulu karena Imama ada kepentingan untuk acara funbike keesokan-harinya. Dari Jogokariyan menuju Nyutran.

Urbano putih

Urbano putih

Goes…goes…goes…
Lama-lama cape juga yah, maklum sudah lama tidak bersepeda. Setelah dari rumah Om Rangga perjalanan dilanjutkan menuju simpang empat Terminal Giwangan untuk bertemu dengan goeser lain.
Pukul 06.34 sampai di simpang empat tujuan, setelah menunggu beberapa menit akhirnya datang juga (kaya acara tivi). Om Bayu, Mas Niko dan Mas Danang dengan ‘istri’ mereka masing-masing. Tanpa menunggu lama dan menunggu panas matahari, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan menuju Makam Raja-raja Mataram. Beriringan goes…goes…goes…

Sampai di tempat parkir Makam Imogiri, langsung duduk beberapa saat dan memesan bubur untuk mengisi perut, tidak lupa wedang uwuh. Selesai sarapan, langsung menuju tanjakan pertama. “Santai, jangan pake emosi, nikmati saja, atur nafas sesuai ayunan kayuh sepeda”, wejangan Om Bayu. Naik 3 meter, 8 meter…10 meter lho kok lutut kaya mau copot, kontan aku kayuh cepat, tapi…”Jangan emosi, nikmati saja”, pesan Om Bayu lagi…

Tanjakan Imogiri

Tanjakan Imogiri

Tiga per empat tanjakan hampir kucapai, tiba-tiba “Tak!” lututku berhenti merespon semua sensor motorik seperti tidak bisa bekerja lagi, saking lelahnya. “Yah, gagal deh…”, keluhku. Istirahat sebentar di puncak tanjakan, tepat pada persimpangan menuju Makam Raja Kasunanan Surakarta.

Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju target selanjutnya, “jembatan gantung”. Owh! Aku tahu jembatan ini, dahulu hanya berupa sesek (jembatan dari bambu) yang setiap banjir pasti hanyut. Tapi sekarang sudah di-sulap menjadi jembatan gantung. Aku menamakan sebagai “jembatan hati”, karena dibutuhkan hati yang lapang untuk menunggu giliran lewat. Sebab jembatan ini hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, dan satu-satu saja. Makanya harus sabar dan legowo. Untuk finishing kami mencari trip yang memiliki pemandangan yang cukup enak dipandang.

Jembatan Hati/Kesabaran

Jembatan Hati/Kesabaran

Goes..goes…sampai lagi di jalan Imogiri Timur dekat dengan persimpangan Wonokromo. Saatnya pulang…

“Kesabaran adalah salah satu sikap/sifat yang harus kita pupuk dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari kesabaran akan berbuah kebaikan bagi diri kita maupun bagi orang lain”

Terimakasih kepada semuanya…